Ia juga menegaskan kepada pihak kampus juga harus ikut bertanggungjawab melalui keringanan-keringanan bunga yang diberikan.
“Tidak boleh hanya memberikan peluang kemudian cuci tangan, kalau bila perlu kampus meringankan beban itu dengan sedikit bunga,” katanya.
Muhadjir mengungkapkan hal itu pernah dilakukannya saat menjabat sebagai rektor.
“Jadi untuk mahasiswa yang kesulitan, tidak saya beri keringanan. Bebas. Kamu pinjam, nanti saya setujui pinjaman kamu,” kata Muhadjir.
Sistem Pinjol, lanjut Muhadjir kerap disalahartikan sebagai sistem yang negatif, lantaran banyaknya penipuan atau pihak yang memanfaatkan Pinjol demi keuntungan pribadi.
Padahal, ada juga kampus yang sudah menerapkan mekanisme tersebut dan terbukti efektif.
Salah satunya adalah Institut Teknologi Bandung atau ITB. Kampus itu menggunakan platform fintech peer-to-peer lending PT Inclusive Finance Group alias Danacita.
Platform itu tak terima jika disebut Pinjol karena terkesan sebagai perusahaan yang tidak legal dan tidak beretika. Sebaliknya, perusahaan itu mengklaim telah mengantongi izin dan berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Muhadjir menilai pemanfaatan pinjol yang diterapkan oleh kampus tidak termasuk komersialisasi. “Itu kan soal penilaian, bisa macam-macam,” kata dia.
Per Jumat, 31 Mei 2024, OJK merilis daftar penyelenggara financial technology (fintech) lending, fintech peer-to-peer (P2P) lending, atau pinjaman daring (online) alias pinjol yang terdaftar dan mengantongi izin. Terdapat 100 perusahaan pinjol legal yang memiliki izin dari OJK.
Baca Juga: Menko PMK Apresiasi Kota Palu Turunkan Angka Stunting