By: Ovalpratama
BEBERAPA hari lalu Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan. Aturan ini adalah turunan dari Undang-undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Beberapa aturan progresif tertuang dalam PP ini. Mulai dari pembatasan penjualan rokok, pembatasan iklan rokok, pembatasan konten mukbang yang tinggi kolesterol, aturan aborsi sampai dengan penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar dan remaja.
Berfokus pada Penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar dan remaja. Hal ini tertuang dalam Pasal 103 ayat (4) PP NO. 28/2024 yang merincikan soal pelayanan kesehatan berupa:
- Skrining (deteksi dini penyakit)
- Pengobatan
- Rehabilitasi
- Konseling dan
- Penyediaan alat kontrasepsi
Aturan itu juga berlaku bagi para pelajar dan remaja. Hal ini menuai kritikan karena dianggap MENORMALISASIKAN “Sex bebas” di kalangan pelajar dan remaja. Banyak juga yang berkomentar bahwa Pemerintah harusnya mempertegas aturan larangan”sex bebas” di banding menyediakan alat kontrasepsi.
Dengan demikian, pada tulisan saya ini, akan membahas terkait dengan bagaimana dalam perspektif HAM tentang aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar dan remaja? Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, negara memiliki 3 (tiga) kewajiban terhadap warga negara nya dalam hal hak asasi. 3 (tiga) Kewajiban negara tersebut adalah
- To Fulfil (Memenuhi)
- To Protect (Melindungi) and
- To Respect (Menghormati)
Peranan Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sangat diperlukan terutama dalam bentuk pelayanan kesehatan secara menyeluruh, dengan diakui kesehatan sebagai salah satu Hak Asasi Manusia yaitu seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara. Sebab Negara WAJIB memenuhi, melindungi dan menghormati hak asasi warga negara nya.
Pelajar dan remaja juga termasuk warga negara yang WAJIB untuk dilindungi, dihormati dan dipenuhi hak-hak asasinya. Tidak terkecuali Hak untuk Pelayanan Kesehatan. Jika kita merujuk pada Pasal 28 H ayat (1), disana mengatur soal jaminan bagi warga negara untuk berhak mendapatkan lingkungan yang sehat dan pelayanan kesehatan. Bahkan aturan turunannya pun Undang-undang Tentang Jaminan Sosial, Undang-undang Kesehatan, sampai dengan
Peraturan Pemerintah yang baru di sahkan ini merupakan representasi dari bentuk KEWAJIBAN NEGARA dalam MEMENUHI hak asasi warga negara nya. Pemenuhan hak yang diberikan pemerintah jelas, mulai dari pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi meliputi:
- Sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
- Menjaga kesehatan reproduksi;
- Perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
- Keluarga berencana; serta
- Melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual.
Sampai dengan penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar juga termasuk pemenuhan hak bagi pelajar. Jika kita merujuk pada data Kementerian Kesehatan yang diolah oleh BPS pada tahun 2022 hampir 5% kasus HIV dan Sifilis di Indonesia ada pada pelajar dan remaja usia 15-19 Tahun.
Data BPS juga menunjukkan remaja usia 16-19 Tahun menikah dini dengan presentase hampir 35%, Hal ini tentunya memicu kehamilan dini, yang akan berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga dapat berdampak sosial dan ekonomi, berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi semakin meningkat.
Belum lagi peningkatan kasus aborsi oleh remaja, karena kehamilan tidak di inginkan, dan masih banyak lagi persoalan kesehatan yang terjadi di kalangan remaja.
Dengan keadaan demikian apa yang bisa pemerintah lakukan? Bagi saya penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar dan remaja adalah salah satu bentuk progresif hukum dalam MEMENUHI hak warga negara nya agar meminimalisir adanya peningkatan penyakit HIV dan Sifilis di kalangan remaja, penurunan angka pernikahan dini, hamil diusia remaja, penurunan kasus aborsi dll.
Lantas apakah ini justru MENORMALISASIKAN “SEX BEBAS” ? Jawaban saya adalah tidak..
Dalam perspektif apapun “Sex bebas” tidak di benarkan, terlebih jika menggunakan perspektif agama dan moral. Tetapi saya berpendapat bahwa penegasan nilai-nilai agama, moral dll terkait “sex bebas” itu merupakan KEWAJIBAN ORANG TUA. Orang tualah yang berperan penting mendidik anak-anaknya dari kecil sampai besar untuk di tanamkan bahwa “Sex bebas” itu tidak dibenarkan.
Pada status a quo saat inipun. Semua remaja sudah paham bahwa “sex bebas ” itu tidak dibenarkan, tetapi masih terus meningkat data remaja yang melakukan “sex bebas” tersebut. Bahkan saat ini sudah ada aturan yang melarang untuk melakukan “sex bebas” mulai dari KUHP, Undang-undang sampai Hukum Adat di beberapa tempat pun memberikan sanksi yang tegas bagi orang yang melakukan “sex bebas”. Tetapi masih sangat banyak yang melakukannya. Apa yang salah? Karena hal ini tidak bisa di bendung, hanya dengan aturan tertulis saja, makanya peran lingkungan khususnya keluarga dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anaknya itu sangat penting.
Situasi yang seperti inilah yang membuat pemerintah bertanggungjawab atas apa yang sudah terjadi untuk MEMENUHI hak asasi warga negara nya dalam memperoleh kesehatan. Dengan demikian aturan terkait dengan penyediaan alat kontrasepsi bagi para pelajar dan remaja dalam perspektif HAM merupakan representasi dari bentuk KEWAJIBAN NEGARA dalam MEMENUHI hak asasi warga negara nya, serta tidak bermaksud MENORMALISASIKAN atau MEMBENARKAN adanya “SEX BEBAS”.
Penanganan untuk TIDAK melakukan “Sex bebas”sudah sangat terlambat bagi remaja, karena itu di lakukan dari mulai anak-anak, jika sudah remaja, dan terlanjur terjerumus maka Negara harus hadir melindungi dan memenuhi hak mereka dalam memperoleh kesehatan.