10 Tahun Jokowi dan Refleksi Tata Kelola Tambang

Suasana aktivitas tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah (Sumber : Bloomberg)
Bagikan Via:

Jakarta, Medula.id – Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo (16/8) menyinggung soal kebijakan sektor pertambangan khususnya yang terkait hilirisasi (smelter) untuk nikel, bauksit, dan tembaga yang telah meningkatkan pendapatan negara Rp 158 triliun selama 8 tahun terakhir, membuka lapangan kerja, termasuk pengambilalihan korporasi sektor ekstraktif yang dikuasai asing. Pernyataan Jokowi ini tentu hanya menggambarkan bagian yang menguntungkan bagi negara saja.

Padahal sektor tambang seperti bermuka dua, di satu sisi digadang-gadang sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar tambang. Data Kementerian ESDM dalam APBN 2023 menyebut PNBP yang dihasilkan sektor minerba mencapai Rp 173 Triliun, sekitar 58% dari total PNBP sektor ESDM (Rp 300 Triliun). Namun adakah yang pernah menghitung berapa kerugian lingkungan dan masyarakat akibat aktivitas pertambangan? Ini menjadi pertanyaan kritis dan reflektif bagaimana tata kelola sektor tambang ke depan.

Indonesia memang punya cadangan nikel terbesar di dunia. Angkanya mencapai 72 juta ton dari total cadangan dunia 139,4 juta ton atau 52 persen (Kementerian ESDM 2020; Booklet Tambang Nikel 2020). 90 persen sumber nikel Indonesia tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

Politik Hukum

Politik hukum pertambangan pasca perubahan UU Minerba, termasuk UU Cipta Kerja, justru semakin memperbesar risiko korupsi di sektor tambang. Sentralisasi perizinan tambang yang diharapkan memperkuat pengawasan pada kenyataannya menambah kerentanan terjadinya korupsi. Hal ini semakin diperkuat oleh melemahnya institusi penegak hukum, kuatnya konflik kepentingan pebisnis-politisi dalam bisnis tambang, menyempitnya ruang partisipasi hingga maraknya kriminalisasi terutama terhadap warga sekitar tambang.

Studi Transparency International (TI) Indonesia (2024) di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah menemukan fakta bahwa terjadi krisis sosial ekologis dan sosial ekonomi. Terjadi perampasan ruang hidup komunitas masyarakat lokal dengan modus isu-isu lingkungan dan konservasi (green grabbing). Selain itu beragam dampak negatif mulai bermunculan semenjak industri tambang nikel berkembang secara masif di kawasan ini, dari mulai krisis sosial-ekologis, konflik agraria, hingga pelanggaran HAM.

Masyarakat adat kehilangan warisan komunitas adat mereka yang telah mereka jaga turun temurun. Ketika masyarakat melakukan perlawanan, selalu berhadapan dengan intimidasi dan kriminalisasi dengan menggunakan tangan aparat. Potret rezim tambang semacam ini mengindikasikan tata kelola sektor ini tidak cukup mengakomodasi aspek-aspek antikorupsi, sosial, dan HAM.

Seperti pada kasus insiden kecelakaan kerja di industri tambang Morowali, yang menewaskan 21 orang, dan 39 luka-luka karena ledakan tungku smelter milik PT. Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan industri IMIP. Trend Asia melaporkan, 53 pekerja smelter meninggal dalam rentang waktu 2015-2022, terdiri dari 40 pekerja Indonesia dan 13 warga China yang bekerja di sejumlah smelter nikel di Indonesia, termasuk IMIP.


Hasil penilaian TI Indonesia (2024) menemukan hal yang serupa, di mana mayoritas perusahaan tambang tidak memiliki kebijakan yang memadai dari aspek antikorupsi, sosial, dan HAM. Di sisi yang lain, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi dan lingkungan di sektor SDA tak selalu membuahkan putusan yang adil bagi publik, terlebih lagi bagi lingkungan hidup. Kondisi ini tak lantas membuat pemerintah bergeming, di ujung masa pemerintahan Joko Widodo membuat kebijakan yang tidak populer dengan memberikan “giveaway” izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas).


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *