Gen Z & Milenial : Penghasilan Sekecil Itu, Bergelut dengan Pajak Sebesar Itu

Ilustrasi Pajak (Sumber : Freepik.com)
Bagikan Via:

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP, pemerintah sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif PPN dalam rentang 5-15% melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif tidak sepenuhnya bersifat wajib, dan ada ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih pro-rakyat. Ironisnya, pajak karbon yang dijadwalkan pada 2022 belum diimplementasikan, menyoroti ketidakseimbangan dalam pelaksanaan kebijakan perpajakan.

Kenaikan tarif PPN berpotensi memperberat daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah. Pada triwulan III 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91% secara tahunan (y-o-y) dan bahkan menurun sebesar -0,48% secara triwulanan (q to-q) (Data BPS Kuartal III 2024). Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024) serta 2 penurunan omzet UMKM hingga 60% menurut laporan Bank BRI (ekonomi.bisnis.com) menandakan lemahnya kondisi ekonomi masyarakat. Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi ini.

Meskipun pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan untuk menutup defisit anggaran, masih ada opsi lain yang belum dimaksimalkan, seperti optimalisasi penerimaan pajak dari sektor tambang yang ilegal. Potensi penerimaan mencapai Rp300 triliun dari pengemplang pajak di sektor sawit, sebagaimana pernah disampaikan Hasyim S. Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, (Sumber : Antaranews.com), namun upaya ini belum menjadi prioritas dibandingkan menaikkan tarif PPN. Selain itu, tarif PPN Indonesia saat ini (11%) sudah lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia (8%) dan Singapura (9%), dan rencana kenaikan menjadi 12% akan membuat Indonesia sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan.

Gen Z : Dari Healing ke Pening

Kenaikan pengeluaran ini cukup signifikan bagi generasi muda yang masih berada dalam tahap awal karier mereka. Dalam jangka waktu sebulan, kenaikan ini dapat memengaruhi anggaran pribadi mereka secara langsung. Meskipun angka ini terdengar relatif kecil dalam konteks pengeluaran bulanan yang lebih besar, bagi banyak Gen Z yang baru memulai hidup mandiri, ini bisa menjadi beban tambahan yang sulit dihindari. Jika dilihat dalam jangka panjang, kenaikan selisih tarif PPN dari 11% menjadi 12% per tahun sebesar Rp1.748.265 menjadi lebih mencolok dan memerlukan perencanaan keuangan yang matang untuk menghadapinya.

Implikasi dari kenaikan ini sangat terasa dalam hal pengelolaan anggaran bulanan. Pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan, hiburan, dan transportasi, akan meningkat secara terus-menerus, yang berarti Gen Z harus mencari cara untuk mengatur keuangan dengan lebih bijaksana. Dengan tambahan pengeluaran Rp1,75 juta per tahun, mereka mungkin harus menyesuaikan gaya hidup atau prioritas pengeluaran mereka. Ini bisa berdampak pada keputusan mereka dalam hal konsumsi barang dan jasa, seperti mengurangi frekuensi berlangganan layanan streaming atau menghindari pengeluaran untuk hiburan yang tidak terlalu penting.

Kenaikan pengeluaran ini juga mempengaruhi kemampuan menabung atau investasi bagi Gen Z. Dengan tambahan pengeluaran hampir Rp1,75 juta, tabungan yang mereka kumpulkan akan berkurang. Ini menjadi tantangan tersendiri, karena bagi banyak dari mereka, menabung dan merencanakan masa depan finansial adalah hal yang penting. Kenaikan harga yang berkelanjutan dapat menyebabkan mereka merasa terjepit dalam mengatur keseimbangan antara pengeluaran sehari-hari dan tabungan. Dalam jangka panjang, jika pengeluaran terus meningkat tanpa adanya peningkatan pendapatan yang signifikan, Gen Z berisiko mengalami kesulitan dalam merencanakan keuangan mereka untuk tujuan jangka panjang, seperti membeli rumah atau mempersiapkan dana pensiun.

Pemerintah harus membatalkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% karena sifat pajak ini yang regresif, yakni lebih memberatkan masyarakat berpendapatan rendah. Sebagai pajak tidak langsung, PPN dikenakan secara merata tanpa memperhitungkan tingkat pendapatan, sehingga kelompok miskin menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk membayar pajak ini dibandingkan kelompok kaya.

Dampak PPN 12% juga dirasakan terutama pada pengeluaran Gen Z yang meningkat melebihi kenaikan pendapatan riil. Akibatnya Gen Z yang merupakan motor konsumsi rumah tangga yang cukup besar berisiko memilih beberapa opsi. Pertama, tetap berbelanja barang yang dikenai PPN, namun mengandalkan pinjaman. Akhirnya Gen Z tergoda melakukan doom spending (sebuah aktivitas pemborosan karena kecewa dengan masa depan). Kedua, beralih ke barang dan jasa yang harga nya lebih rendah, melakukan frugal living atau berhemat. Ketiga, membeli barang dari aktivitas yang tidak dikenai pajak seperti thrifting, jastip, hingga berbelanja di ritel informal. Ketiga perubahan perilaku konsumsi yang dilakukan Gen Z akan merugikan rasio pajak, menyuburkan sektor informal, dan membuat Gen Z terjebak utang dalam jangka panjang. Bonus demografi berubah menjadi bencana demografi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *