Jakarta, Medula..id – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa hak Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan denda damai kepada pelaku tindak pidana dijamin oleh Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Pernyataan ini disampaikan Supratman dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Hukum untuk merespons pernyataan Mahfud MD yang sebelumnya menyebut Presiden dapat dijerat Pasal 55 KUHP jika memberikan pengampunan kepada koruptor.
“Ada yang mengatakan kalau presiden mengampuni koruptor, presiden bisa dijerat dengan Pasal 55 KUHP. Atas dasar itulah saya sampaikan bahwa pihak tersebut mungkin lupa dengan hak konstitusional Bapak Presiden,” ujar Supratman.
Meski demikian, Supratman menyatakan bahwa pemberian amnesti atau pengampunan kepada koruptor belum tentu dilakukan oleh Presiden Prabowo. Ia juga mengingatkan bahwa wacana serupa pernah diusulkan oleh Mahfud MD saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, dengan mencontoh praktik pengampunan di negara lain.
“Artinya, waktu itu, menurut Prof. Mahfud, usulan tersebut relevan, namun tidak ada yang berani melaksanakannya. Dalam hukum pidana kita, amnesti atau pengampunan adalah hal yang dikenal dalam praktik hukum,” jelas Supratman.
Restorative Justice dalam Penanganan Korupsi
Supratman juga mengungkapkan bahwa dalam tindak pidana korupsi, pendekatan restorative justice telah diterapkan oleh penegak hukum. Pendekatan ini mempertimbangkan kerugian negara sebagai acuan, terutama jika kerugian tersebut lebih kecil dibandingkan biaya penanganan kasusnya.
“Misalnya, jika kerugian negara hanya Rp50 juta atau Rp100 juta, biaya untuk penanganan perkara korupsinya jauh lebih besar. Maka, restorative justice menjadi solusi,” tambahnya.
Tidak Ada Koruptor dalam Rencana Amnesti untuk 44.000 Narapidana
Lebih lanjut, Supratman menegaskan bahwa rencana pemberian amnesti kepada 44.000 narapidana tidak mencakup pelaku korupsi. Ia menjelaskan bahwa narapidana yang dipertimbangkan untuk mendapatkan amnesti termasuk pelaku kasus politik di Papua tanpa unsur kekerasan, penderita penyakit kronis seperti HIV/AIDS, terpidana UU ITE, dan pengguna narkoba yang dikategorikan sebagai korban.
“Kami bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) masih melakukan asesmen terkait hal ini. Setelah daftar nama 44.000 narapidana selesai, kami akan buka ke publik dan mengajukannya kepada Presiden untuk diteruskan ke DPR,” tutup Supratman.