JAKARTA,MEDULA.id – Keputusan mengejutkan yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari tuntutan 12 tahun penjara atas kematian Dini Sera Afrianti menggegerkan publik. Kini, tabir dari kasus ini mulai terungkap satu per satu, menyusul penangkapan sejumlah pihak terkait yang diduga terlibat dalam praktik suap yang mengarah pada vonis bebas tersebut.
Pada Selasa (14/1/2025), Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Rudi Suparmono, mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yang diduga terlibat dalam memberikan suap kepada tiga hakim PN Surabaya agar membebaskan Ronald Tannur. Rudi ditangkap di Palembang, Sumatera Selatan, dan menjadi nama terbaru yang tersandung dalam skandal suap ini.
Kasus ini bermula pada Oktober 2023, ketika Ronald Tannur ditetapkan sebagai tersangka setelah menganiaya kekasihnya, Dini Sera, hingga menyebabkan kematiannya. Ronald kemudian dijerat dengan tuduhan penganiayaan yang berujung pada kematian dan ditahan sejak 6 Oktober 2023. Kasus tersebut dilanjutkan ke meja hijau di PN Surabaya, di mana pada 24 Juli 2024, majelis hakim yang dipimpin oleh Erintuah Damanik, dengan hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo, mengejutkan publik dengan menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
Kejagung mulai mengendus adanya praktik tidak wajar di balik putusan tersebut. Mahkamah Agung (MA) kemudian mengubah vonis tersebut pada Oktober 2024, dengan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Ronald Tannur. Kejagung kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut, yang mengarah pada penangkapan tiga hakim PN Surabaya yang memberikan vonis bebas, yang diduga menerima suap dari pihak yang berkepentingan.
Pengungkapan lebih lanjut menunjukkan bahwa praktik suap itu dipimpin oleh Meirizka Widjaja, ibu Ronald Tannur. Meirizka dikabarkan memberikan uang suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (sekitar Rp 3,6 miliar) kepada tiga hakim yang memutuskan kasus anaknya. Suap ini diberikan dengan tujuan agar majelis hakim membebaskan Ronald.
Aliran uang suap dimulai pada Januari 2024, ketika pengacara Ronald, Lisa Rahmat, berkoordinasi dengan Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung, untuk mencari hakim yang dapat mempengaruhi keputusan tersebut. Setelah itu, hakim-hakim yang terlibat, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, diidentifikasi sebagai pihak yang menerima suap.
Menurut jaksa, pada Juni 2024, Lisa Rahmat memberikan SGD 140 ribu kepada hakim Erintuah Damanik di Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang. Uang tersebut dibagikan dengan rincian tertentu kepada hakim lainnya. Pada Juli 2024, Heru Hanindyo menerima uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 120 ribu dari Lisa Rahmat di PN Surabaya.
Selain ketiga hakim, Kejagung juga mengungkap bahwa Rudi Suparmono, mantan Ketua PN Surabaya, terlibat dalam pengaturan hakim yang memberikan vonis bebas kepada Ronald. Rudi menerima SGD 63 ribu dari suap tersebut. Selain itu, Kejagung juga menemukan uang tunai sebesar Rp 21 miliar dalam penggeledahan yang dilakukan pada kediaman Rudi.
Saat ini, total tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal ini, yang meliputi tiga hakim, pengacara Ronald, mantan pejabat MA, ibu Ronald, dan Rudi Suparmono.
Mahkamah Agung (MA) turut angkat bicara terkait skandal ini. Juru bicara MA, Yanto, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melindungi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran. MA berkomitmen untuk terus melakukan pembinaan terhadap hakim-hakimnya agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Skandal suap yang melibatkan vonis bebas Ronald Tannur ini terus bergulir, dan publik menunggu perkembangan lebih lanjut terkait penyidikan dan penindakan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.