Krisis Legitimasi Pemerintah dan DPR Berbenah Diri

Bagikan Via:

Penulis: Naharuddin, S.H., M.H

Krisis Legitimasi yang Kian Nyata

Ilmuwan politik R. William Liddle pernah mengingatkan bahwa salah satu penyebab runtuhnya rezim pemerintahan adalah krisis legitimasi dari atas—kondisi ketika kebijakan negara kehilangan kepercayaan publik. Ketika pemerintah tidak lagi dianggap mewakili kepentingan rakyat, muncul pembangkangan sipil sebagai bentuk kekecewaan terhadap kekuasaan.

Krisis legitimasi tidak hadir tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan melalui menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi dan politik yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Ketika beban pajak semakin berat, sementara fasilitas dan insentif pejabat terus meningkat, rakyat merasakan jurang sosial yang makin lebar. Muncul rasa muak, sinisme, dan akhirnya perlawanan.

Situasi ini kini sedang kita hadapi. Kampus-kampus bergolak, mahasiswa turun ke jalan menyuarakan keresahan: pajak jangan dinaikkan, fasilitas pejabat harus dipangkas, dan pejabat publik wajib menunjukkan empati terhadap rakyat. Gerakan ini bukan penolakan terhadap negara, tetapi terhadap pola pengelolaan negara yang mengabaikan rasa keadilan.

Perlawanan rakyat adalah akumulasi kekecewaan atas perilaku elitis para pengambil kebijakan. Jika tidak direspons dengan bijak, krisis ini dapat menggerus stabilitas negara. Ketika kepercayaan hilang, hukum, lembaga, dan simbol-simbol kekuasaan pun kehilangan makna. Inilah titik awal krisis legitimasi politik sebagaimana digambarkan Liddle.

Gerakan hari ini bukan hasil provokasi asing, melainkan lahir dari faktor internal: ketidakpuasan, kelelahan melihat praktik kekuasaan yang tidak sensitif pada penderitaan rakyat. Jika dibiarkan berlarut, legitimasi moral dan politik pemerintah bisa menuju kehancuran yang lebih dalam.

Berbenah: Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan DPR

Di tengah gelombang kritik yang semakin menguat, pemerintah dan DPR perlu mengambil langkah cepat dan tegas. Jalan satu-satunya adalah berbenah, membuka dialog jujur dengan rakyat, serta menata ulang kebijakan agar kembali ke rel kepentingan publik.

1. Keteladanan moral dan pengorbanan simbolik

Langkah pertama adalah meninjau ulang kebijakan yang memicu kecemburuan sosial. Beberapa langkah awal yang mulai tampak menjadi sinyal positif, antara lain:

  • Pembatalan sejumlah fasilitas insentif dan tunjangan jabatan.
  • Pembatalan rencana kenaikan tunjangan anggota DPR.
  • Moratorium perjalanan luar negeri yang tidak mendesak.

Kebijakan semacam ini bukan sekadar efisiensi anggaran, tetapi menunjukkan bahwa pejabat publik siap menahan diri demi kepentingan rakyat.

2. Sanksi tegas terhadap anggota DPR yang tidak pantas

Beberapa anggota DPR telah dinonaktifkan sebagai bentuk menjaga kehormatan lembaga perwakilan rakyat. Langkah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik yang selama ini merasa DPR jauh dari aspirasi rakyat.

3. Pembatalan kenaikan PBB di sejumlah daerah

Ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah mulai mendengar suara rakyat dan berusaha meringankan beban mereka.

Serangkaian langkah tersebut merupakan strategi de-eskalasi konflik sosial. Meski belum sempurna, langkah ini bisa menjadi titik balik menuju pemulihan kepercayaan publik.

Namun, krisis legitimasi tidak akan pulih hanya dengan kebijakan reaktif. Diperlukan perubahan paradigma: dari kekuasaan sebagai privilese menjadi kekuasaan sebagai amanah. Pemerintah dan DPR harus menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Tanpa perubahan sikap mendasar ini, perbaikan hanya akan menjadi kosmetik politik yang mudah luntur.

Saatnya Mengutamakan Rule of Ethics

Konsep Rule of Ethics yang diperkenalkan oleh Jimly Asshiddiqie sangat relevan dalam situasi saat ini. Pengelolaan negara tidak cukup hanya berlandaskan Rule of Law, tetapi harus diperkuat oleh etika publik.

Hukum bekerja melalui prosedur, tetapi etika menuntut kepekaan moral dalam setiap tindakan. Krisis yang kita hadapi bukan sekadar krisis hukum, melainkan krisis moral. Aturan sudah banyak, namun pelaksanaannya sering tidak mencerminkan keadilan. Banyak pejabat berlindung di balik legalitas, tetapi mengabaikan tanggung jawab moral.

Karena itu, pemerintah dan DPR perlu membangun kepemimpinan yang menekankan:

  • Integritas
  • Empati
  • Rasa malu
  • Kejujuran hati

Kehancuran bangsa kerap dimulai ketika hukum kehilangan ruh moralnya dan pejabat kehilangan rasa malu. Rule of Ethics harus menjadi kompas baru untuk memperbaiki arah negara. Legitimasi tidak akan pulih melalui pidato atau pencitraan, tetapi lewat keteladanan dan keberanian moral untuk berubah.

Penutup

Krisis legitimasi yang kita hadapi hari ini adalah cermin hubungan yang retak antara rakyat dan kekuasaan. Jika pemerintah dan DPR mampu belajar, berani mengoreksi diri, serta menegakkan etika publik, maka dari krisis ini bisa lahir harapan. Namun bila tidak, sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa kekuasaan yang kehilangan legitimasi pada akhirnya akan kehilangan segalanya.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, serta ahli hukum Partai Politik dan Pemilu dalam berbagai persidangan maupun forum akademik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *