DONGGALA, MEDULA.id – Kecamatan Pinembani resmi terbentuk pada 2005 melalui proses panjang yang berangkat dari inisiatif sejumlah tokoh masyarakat di wilayah Pakawa. Saat itu, wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Kecamatan Marawola dan dikenal dengan nama Pakawa.
Salah satu penggagas pemekaran kecamatan mengungkapkan, ide pembentukan Kecamatan Pinembani muncul karena adanya perwakilan masyarakat Pakawa di DPRD Kabupaten Donggala, yakni Esra Tule. Momentum tersebut dimanfaatkan untuk mendorong pembentukan wilayah administratif baru agar pembangunan dapat lebih merata.
“Waktu itu kami berpikir, karena sudah ada kakak kami di DPR Kabupaten Donggala, bagaimana caranya supaya daerah kami ini bisa berdiri sendiri. Saat itu masih bernama Pakawa,” ungkapnya.
Diskusi awal dilakukan oleh tujuh orang, yakni Esra Tule, almarhum Modas, Saler Kalemba, Arman Sippanabi, Albert Tule, Samuel Rantisa, serta dirinya sendiri. Dari pertemuan tersebut, disepakati pembentukan kecamatan hasil pemekaran dari Marawola, khususnya wilayah Pakawa.
Dalam prosesnya, penentuan nama kecamatan menjadi pembahasan penting. Sejumlah usulan sempat muncul, seperti Kecamatan Gimpubia dan Kecamatan Pakawa, namun dinilai kurang tepat. Hingga akhirnya disepakati nama Kecamatan Pinembani, yang diambil dari nama gunung di wilayah tersebut.
“Pinembani itu nama gunung. Dalam bahasa Kaili bisa dimaknai sebagai ‘pine wali’, yang artinya kayangan. Dari situlah kami sepakat memakai nama Pinembani,” jelasnya.
Sebelum menjadi Pinembani, wilayah tersebut dikenal sebagai Pakawa, yang berasal dari nama sungai Pakawa. Sungai tersebut berkaitan dengan tokoh bernama Topakaba. Wilayah hulu sungai berada di kawasan Pinembani, sementara muaranya berada di Rio Pakawa. Penduduk awal di kawasan itu didominasi oleh satu rumpun keluarga, termasuk warga Desa Ngobi yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Palentuma.
Ia mengenang, kondisi wilayah Pinembani pada masa lalu sangat terisolasi. Akses pendidikan pun terbatas, bahkan untuk mencapai Kota Palu, warga harus berjalan kaki selama dua hari.
“Dulu kami sekolah jalan kaki sampai dua hari ke Palu. Kehidupan juga serba sulit, harga kopi hanya Rp1.500 per kilogram. Makanan sehari-hari kami hanya talas dan ubi, beras paling cepat seminggu sekali baru bisa makan,” tuturnya.
Memasuki usia 20 tahun Kecamatan Pinembani, ia mengaku bersyukur atas berbagai perubahan yang dirasakan masyarakat. Menurutnya, pembangunan yang berjalan sejak camat pertama hingga camat terakhir, Sukmawati, telah membawa kemajuan signifikan bagi wilayah tersebut.
“Kami merasa merdeka. Sekarang kami sudah hampir sejajar dengan masyarakat di wilayah bawah. Harapan kami ke depan, Pinembani bisa benar-benar sejajar dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Donggala,” pungkasnya.
