SIGI,MEDULA.id – Bagi dr. Diah Ratnaningsih, menjadi dokter bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hidup yang telah ada sejak masa kecil. Perempuan kelahiran Sidoarjo, 16 Desember 1982, ini telah menempuh perjalanan panjang yang penuh tantangan, dedikasi, dan pengorbanan. Kini, lebih dari satu dekade setelah pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Sigi sebagai tenaga medis, ia diberi amanah untuk memimpin Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tora Belo, rumah sakit rujukan utama di kabupaten tersebut.
Dilansir dari potretcelebes.com, Sejak kecil, cita-cita Diah untuk menjadi dokter bukan hanya sekadar impian belaka. Dengan tekad yang kuat untuk membantu sesama, ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa tumbuh menjadi pemimpin dalam layanan kesehatan di daerah yang jauh dari keramaian kota. “Waktu kecil, saya selalu menjawab ingin menjadi dokter ketika ditanya cita-cita. Saya cuma ingin membantu orang lain, itulah motivasi awal saya,” kenangnya dengan senyum yang tak pernah pudar.
Namun, seiring berjalannya waktu, Diah menyadari bahwa untuk benar-benar membantu orang lain, niat baik harus diimbangi dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. “Ilmu kedokteran terus berkembang. Saya harus terus belajar, karena kesalahan kecil bisa berakibat fatal bagi pasien,” ujar dr. Diah.
Diah menempuh pendidikan kedokterannya di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan lulus pada tahun 2009. Tak lama setelah itu, ia diterima sebagai CPNS di Kabupaten Sigi pada 2010 dan ditempatkan di Puskesmas Biromaru. Ia mengenang dengan haru masa-masa sulit di awal kariernya. “Saya adalah satu-satunya dokter yang menangani 18 desa. Dari pagi hingga malam, saya menangani pasien, termasuk kasus gawat darurat,” kenangnya. Keputusan untuk meninggalkan anak yang masih bayi di Surabaya demi tugas negara menunjukkan betapa besar komitmen Diah terhadap profesinya.
Perjalanan Diah di bidang kesehatan tidak hanya sebatas sebagai tenaga medis, tetapi juga sebagai seorang pemimpin. Berkat dedikasi dan kerja kerasnya, ia diangkat menjadi Kepala Puskesmas Biromaru dan kemudian dipindahkan ke Puskesmas Sibalaya. Di sinilah ia mencatatkan berbagai prestasi, termasuk program inovatif dalam penanganan stunting. Salah satu inisiatifnya, yakni Benua Ntoveae, memberikan rumah kecil bagi anak-anak stunting selama pandemi, serta pengiriman makanan bergizi dan pelatihan memasak untuk ibu-ibu, terbukti efektif dan mendapat apresiasi dari masyarakat.
Namun, perjalanan Diah juga penuh liku. Pada 2020, ia harus menghadapi kehilangan besar, suaminya yang juga seorang dokter meninggal dunia akibat COVID-19. “Suami saya adalah dokter yang menggantikan saya di Puskesmas Biromaru. Kami sempat dirawat di ICU, namun ia tidak bisa bertahan,” kenangnya dengan suara bergetar. Kepergian suami tercinta mengubah hidup Diah, namun ia tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai Kepala Puskesmas Biromaru dan meraih akreditasi A, sebuah pencapaian besar di tengah kesedihan yang mendalam.
Keberhasilan Diah ini menarik perhatian Bupati Sigi yang kemudian mengundangnya untuk berbagi kisah sukses. Tak lama setelah itu, Diah dilantik sebagai Direktur RSUD Tora Belo, tempat yang kini ia pimpin. “Jujur, saya terkejut. Namun, saya menerima amanah ini karena saya percaya rumah sakit ini adalah harapan masyarakat Sigi,” ujarnya.
Setelah lebih dari satu setengah tahun memimpin RSUD Tora Belo, Diah mengungkapkan bahwa tantangan terbesar adalah menjalankan rumah sakit ini seperti puskesmas besar yang harus melayani semua jenis pasien dengan standar tinggi. “Sebagai pemimpin, saya harus menjadi teladan bagi dokter, perawat, dan seluruh pegawai rumah sakit. Saya harus hadir di tengah mereka, ikut apel, dan menunjukkan kedisiplinan,” jelas Diah. Prinsipnya tetap sama: pelayanan kesehatan harus adil, tanpa diskriminasi.
Meski dihadapkan pada tantangan, Diah tidak menyerah. “Dalam pelayanan publik, apapun yang kita lakukan, satu kesalahan kecil bisa menjadi sorotan. Tapi, kami sadar itu bagian dari proses. Kami akan terus memperbaiki diri,” tuturnya.
Di tengah kesibukannya, Diah juga terus melanjutkan pendidikan S2 dan tetap memprioritaskan keluarga. Sebagai seorang ibu tunggal, Diah harus membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus anak-anaknya. “Anak pertama saya mondok di Surabaya, sedangkan anak kedua bersama saya di sini. Sebelum ke rumah sakit, saya harus menyiapkan semuanya. Semua harus ekstra karena sekarang saya harus menjalani semuanya sendiri,” ungkapnya dengan keteguhan hati.
Bagi Diah, menjadi dokter bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan hidup yang terus ia jalani dengan penuh semangat. Kepemimpinannya di RSUD Tora Belo adalah bukti dedikasi dan pengabdiannya terhadap masyarakat. Dengan prinsip empati, kerja keras, dan tekad untuk membangun pelayanan kesehatan yang lebih baik, Diah telah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin yang inspiratif, tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi juga di setiap aspek kehidupan.