PALU,MEDULA.id – Hasan Bahasyuan Institute bekerjasama dengan band lokal The Mangge, dan diproduseri oleh Muhammad Fathur Razaq Anwar, mengaransemen tujuh Lagu Karya Hasan Bahasyuan Direkam Ulang, Proyek Musik Ini Usung Semangat Pelestarian Budaya Sulteng. Agenda yang berlangsung pada Selasa, (10/6) di Kampung Nelayan ini dihadiri oleh para awak media dan pelaku industri musik lokal, The Mangge.
Sebuah inisiatif seni dan budaya dari Hasan Bahasyuan Institute tengah digarap untuk merekam ulang karya-karya maestro Hasan Bahasyuan. Meski awalnya direncanakan merekam 12 hingga 13 lagu, tim produksi akhirnya memutuskan merekam tujuh lagu terlebih dahulu. Pertimbangan ini diambil berdasarkan kurasi vokalis dan karakter karya yang ingin diangkat.
“Sudah, kita mau buat itu kurang lebih ada 12 sampai 13. Tapi kenapa jadi tujuh? Karena pertimbangannya dengan tujuh lagu ini, kita juga menggunakan vokalis-vokalis yang menurut kita di set awal ini harus kita hadirkan,” jelas Ryan, vokalis band the mangge.
Beberapa lagu yang masuk dalam rekaman antara lain Posisani, dan Palu Ngataku, yang dibawakan oleh vokalis pilihan serta kolaborator dari luar komunitas inti. “Kurasi sederhana itu sebenarnya. Makanya kita memilih tujuh lagu untuk direkamkan,” tambahnya.
Dari segi genre, proyek ini mengusung keberagaman. Secara umum, lagu-lagu dikemas dalam genre pop, namun juga menyelipkan unsur keroncong dan Latin. Hal ini dipengaruhi oleh karakter musik Hasan Bahasyuan yang memang sangat universal—mengandung balada, keroncong, hingga nuansa etnik yang kuat.
Dalam hal promosi, tim produksi telah menyiapkan strategi jangka panjang. Selain rencana pembuatan video klip, mereka juga berencana menggelar peluncuran lagu melalui event, bahkan berpotensi melakukan tur ke berbagai daerah di Sulawesi Tengah.
“Kita upayakan bisa tour daerah ke beberapa titik kabupaten agar betul-betul harapan kita ini jadi titik awal bahwa lagu-lagu almarhun Hasan Bahasyuan bisa dikenal lebih luas,” kata mereka.
Sulawesi Tengah yang kaya akan budaya dan suku-suku lokal menjadi motivasi utama proyek ini. Dari pesisir timur dan barat, hingga ke Tolitoli, Buol, dan Luwuk—setiap daerah memiliki kekayaan seni yang luar biasa.
Salah satu karya yang menjadi perhatian adalah Putri Balantak. Namun, terkait hak cipta, tim memastikan bahwa seluruh karya Hasan Bahasyuan yang akan digunakan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, termasuk lagu, musik, hingga tarian.
“Kegelisahan kami adalah karyanya lebih besar dari namanya. Kami ingin lewat media seperti ini, masyarakat juga tahu bahwa Komote itu, misalnya, diciptakan oleh Hasan Basowan,” ungkap direktur Hasan Bahasyuan Institute. Ia menegaskan pentingnya menyebutkan nama pencipta dalam setiap penampilan karya untuk menghargai hak moral sang seniman.
Terkait distribusi, pihak produksi menegaskan bahwa seluruh karya akan disebarluaskan ke berbagai platform digital secara serentak melalui satu pintu distribusi resmi.
Menanggapi pertanyaan dari media soal kemungkinan melibatkan musisi muda seperti pelajar dan mahasiswa, tim membuka peluang besar untuk itu. Bahkan salah satu lagu dalam proyek ini digarap oleh salah satu keluarga dari mendiang Hasan Bahasyuan.
Pertanyaan lain juga muncul soal aransemen musik. Apakah akan dirombak total atau mempertahankan versi asli? Tim menyebut bahwa meskipun akan ada sentuhan baru dari produser musik seperti The Mangge, esensi karya tetap dijaga agar tetap mengakar pada identitas aslinya.
Proyek ini menjadi awal dari upaya panjang untuk mengangkat dan melestarikan karya-karya maestro Hasan Bahasyuan, sekaligus membuka ruang kolaborasi lintas generasi bagi musisi Sulawesi Tengah.