PALU, MEDULA.id – Pemerataan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan menjadi prasyarat penting untuk menjamin kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh sekaligus mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Namun, realitas di banyak negara Asia menunjukkan tantangan serius berupa meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota.
Dilansir dari Kailipost.com, Fenomena ini didorong oleh keterbatasan lapangan pekerjaan, akses pendidikan, layanan kesehatan, serta peluang ekonomi di wilayah pedesaan. Yang lebih mengkhawatirkan, urbanisasi tersebut didominasi oleh generasi muda, sehingga desa-desa kian ditinggalkan oleh kelompok usia produktif dan berisiko menurunkan daya saing serta produktivitas pedesaan dalam jangka panjang.
Merespons tantangan tersebut, Sasakawa Peace Foundation (SPF) Jepang menggelar lokakarya regional bertajuk “Cross-Asian Dialogue on Rural Development: Asia’s Shared Challenges and Opportunity” yang berlangsung di Universitas Nalanda, Bihar, India, pada 7–11 Desember lalu. Kegiatan ini menjadi ruang dialog lintas negara untuk memetakan tantangan pembangunan wilayah serta berbagi praktik baik yang telah diterapkan di berbagai negara Asia.
Lokakarya ini diselenggarakan oleh SPF bekerja sama dengan Asian Confluence dan Musubi-Te Foundation sebagai mitra lokal di India, dengan Universitas Nalanda sebagai tuan rumah. Sejumlah negara Asia turut ambil bagian, di antaranya Jepang, Thailand, Irak, Filipina, Indonesia, serta India sebagai tuan rumah.
Indonesia mengirimkan perwakilan dari tiga sektor strategis, yakni kalangan akademisi Muhamad Indrawan selaku Peneliti Universitas Indonesia, sektor organisasi masyarakat sipil yang diwakili Siti Kholisoh, Managing Director Wahid Foundation, serta perwakilan pemerintah daerah oleh Ardin dari Pemerintah Kota Palu.
Dalam forum tersebut, Pemerintah Kota Palu memaparkan perspektif pembangunan wilayah dari sudut pandang kota. Meski tidak memiliki wilayah pedesaan, Palu menegaskan bahwa pembangunan kelurahan sebagai unit administrasi terkecil tetap memerlukan perhatian serius agar pembangunan kota berjalan secara merata dan inklusif.
Pemkot Palu menyoroti tiga isu utama yang dinilai relevan dengan pembangunan wilayah kelurahan dan kota secara menyeluruh, yakni ketangguhan bencana, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Inklusif, serta pengembangan Social Solidarity Economy (SSE).
Sebagai kota yang berada di salah satu jalur sesar paling aktif di dunia, yakni Sesar Palu-Koro, Palu memiliki pengalaman pahit akibat bencana besar pada 28 September 2018, berupa gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Pengalaman tersebut dijadikan pembelajaran penting untuk memperkuat kebijakan pembangunan daerah, khususnya dalam meningkatkan Indeks Ketahanan Daerah (IKD) dan menurunkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI).
Upaya tersebut ditempuh melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural, serta diintegrasikan sebagai kebijakan strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palu. Pemerintah menekankan bahwa bencana dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan tanpa kesiapsiagaan yang memadai, seluruh capaian pembangunan dapat runtuh dalam sekejap.
Oleh karena itu, Pemkot Palu mengusung konsep rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana dengan pendekatan Build Back Better and Safer, sebagai fondasi pembangunan kota yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Partisipasi Kota Palu dalam forum internasional ini menjadi bukti komitmen pemerintah daerah untuk terus belajar, berbagi pengalaman, serta membangun jejaring global dalam menghadapi tantangan pembangunan wilayah dan ketahanan masyarakat di masa depan.
